Disperindag: Perkuat “branding” beras Bali agar tak kalah saing
[ad_1]
“Jangan terus gabah yang kita hasilkan dijual ke luar, namun kemudian berasnya kita beli dengan harga yang tinggi,” kata Kepala Disperindag Provinsi Bali I Wayan Jarta di Denpasar, Rabu.
Dalam acara penyerapan aspirasi bertajuk “Kesiapan Bali dalam Mengantisipasi UU Cipta Kerja Berkaitan dengan Perdagangan Sembako di Bali” itu, Jarta mengatakan proses hilirisasi sangat penting sehingga petani bisa mendapatkan nilai tambah yang wajar.
“Selama ini dari hasil pengecekan kami ke distributor, sebagian besar mereka menjual beras kemasan luar Bali, sedangkan beras lokal kita kurang banyak peredarannya. Padahal kualitasnya juga tidak kalah,” ucapnya.
Persoalannya, ujar Jarta, petani dan pengusaha kita kurang bisa membangun atau menciptakan “branding” dari produk yang dihasilkan, di samping adanya keterbatasan alat dan teknologi pengolahan gabah yang dimiliki.
Baca juga: Mentan dorong petani Bali tingkatkan hasil produksi dan kualitas beras
Terkait dengan penguatan produk pertanian dari daerah setempat, Pemprov Bali berencana membentuk sentra pangan yang akan memperkuat proses hilirisasi hasil pertanian, sehingga di sana nanti akan ada proses pengolahannya.
“Untuk membantu menyerap beras dari petani lokal, selama ini untuk tunjangan beras dari para ASN Pemprov Bali juga sudah diambil dari para petani Bali,” ucapnya.
Mengenai ketersediaan beras dan bahan pokok lainnya di tengah kondisi pandemi, Jarta menjamin hingga saat ini kondisinya aman.
“Untuk beras misalnya, perkiraan ketersediaan stok mencapai 136.928 ton. Dengan kebutuhan rata-rata per bulan sebesar 33.742 ton, maka jumlah ini cukup hingga empat bulan,” katanya.
Baca juga: DPR RI pastikan tak ada impor beras
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah Made Mangku Pastika mengatakan untuk bisa bersaing dan bertahan di tengah kondisi pandemi COVID-19, mau tidak mau memang harus mengikuti kemajuan teknologi, termasuk dalam sektor pertanian.
“Iya memang tidak mudah mengubah dari yang konvensional ke digital, tetapi itu tetap harus dilakukan. Masak kita nggak bisa juga bikin label yang bagus. Selain itu, Bank Indonesia juga menyatakan siap memberikan pelatihan digitalisasi bagi pelaku UMKM,” ucapnya.
Mantan Gubernur Bali dua periode itu mencontohkan betapa nasi yang disuguhkan di restoran-restoran Jepang sangat enak, karena memang perlakuan terhadap gabahnya berbeda. “Dalam waktu tidak sampai 24 jam, gabah sudah diolah menjadi beras,” ujarnya.
Menurut Pastika, beras dari para petani Bali tak saja kalah dari sisi branding dan kemasan, bahkan sudah dari masih di sawah dikuasai para tengkulak. Belum lagi proses produksinya dari awal juga dikerjakan orang luar Bali.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, kita memang harus kembali ke pertanian karena semua tetap butuh pangan di tengah kondisi pandemi yang kita tidak tahu kapan akan berakhirnya,” kata anggota Komite 2 DPD itu.
Baca juga: Desa di Badung tukar sampah plastik dengan beras
Sementara itu, Ida Bagus Gede Arsana, salah satu produsen beras organik yang berbendera PT Bali Sri Organik mengatakan jika petani Bali masih memproduksi beras dengan cara-cara konvensional, maka akan tergerus.
Menurut dia, “branding” itu sangat penting. Itu pula yang menyebabkannya memilih memproduksi beras organik yang permintaan tertingginya itu dari Jakarta.
“Saya berharap para petani kita tidak lagi menjual dari masih berupa tanaman padi atau gabah, tetapi kita harus mampu menjual beras dengan baik. Petani-petani di Bali memang sudah memiliki alat penyosohan dan pengeringan gabah, namun tidak semodern di Jawa,” kata Arsana.
Setiap tahun, rata-rata pihaknya mampu memproduksi beras merah organik sebanyak 3 ton, beras putih menthik susu 120 ton dan beras hitam organik sebanyak 2 ton.
[ad_2]
Sumber Berita